Membicarakan tentang dunia santri merupakan topik yang menarik dan tidak akan ada habisnya. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat santri mempunyai keunikan tersendiri baik itu tentang pandangan politik, seni, pendidikan, kultur bahkan bahasanya. Santri dalam hal ini saya definisikan bukan layaknya definisi yang dipakai Clifford Geertz yang mengatakan bahwa kaum santri adalah sekelompok pemeluk Islam yang taat, tapi definisi yang dimaksud adalah santri yang memang ditempa di dunia pesantren dengan didikan para kyai sepuh. Hal ini akan sangat penting mengingat apabila memakai definisi dari Geertz maka teman-teman HTI, Ihwanul Muslimin, bahkan ISIS pun akan masuk dalam definisi santri. Namun apabila definisi yang kedua yang dipakai, maka santri mempunyai sebuah karakter tersendiri.
Santri sangat kaya akan khazanah keilmuan klasik namun juga mampu merespon hal-hal baru dengan konteks kekinian. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menyebut karakter ini dengan sebutan Islam Kosmopolitan. Dalam artikelnya yang berjudul Pesantren sebagai Subkultur (1974) beliau menerangkan bagaimana uniknya dunia pesantren. Sebuah eksplanasi antropologis atas sistem nilai pesantren yang meliputi asketisisme (zuhud), kecintaan ilmu agama dan kepemimpinan kiai. Dengan ketiga nilai ini pesantren menjelma subkultur: sub dari kultur umum yang unik, berbeda, mandiri tetapi bisa memengaruhi kultur umum tersebut.
Namun dilain soal, tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa santri adalah kaum tradisionalis yang mempunyai gaya hidup yang masih konservatif. Konsep modernis dan tradisionalis sebenarnya memang sudah lama runtuh apabila yang dijadikan tolak ukur adalah cara pandang atau khazanah keislaman yang dimiliki, tentu kaum santri lebih modern dibandingkan orang-orang mengklaim dirinya modern. Bagaimana tidak lebih modern, lha wong selama ini yang bersuara dan mampu menjawab isu-isu kontemporer adalah kaum santri. Sebut saja masalah aborsi, kalangan santri dalam Munas NU 2014 kemaren tampil untuk membahas itu dengan perbendaharaan keilmuan klasik dipadu dengan ilmu mutakhir jaman sekarang. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah apabila yang dijadikan tolak ukur adalah jenjang pendidikan dan kesejahteraan ekonomi memang sebagian besar kalangan santri berada di level yang masih boleh dibilang rendah.
Seiring berjalannya waktu kesadaran kaum santri akan perlunya mengenyam pendidikan yang lebih tinggi mulai mewabah di beberapa pesantren, bahkan sebagian besar pesantren mempunyai sekolah-sekolah favorit yang mampu menjebolkan anak didiknya di perguruan tinggi bonafit. Pertanyaannya adalah bagaimana menjadi santri di dunia perkuliahan? Pertanyaan ini memang mudah untuk dilontarkan tapi tidak gampang untuk menyelesaikannya. Apakah kita harus melepas jubah kesantian yang kita miliki atau ada opsi lain yang bisa dipakai. Mari kita analisa, kalangan santri sebagian besar secara pendidikan memang tidak banyak yang berkesempatan mengeyam pendidikan tinggi, khususnya PT umum yang bonafit. Hal ini bisa dibuktikan bahwa kalangan santri menjadi kaum minoritas di kampus. Faktor pendidikan akan bersifat paralel dengan tingkat kesejahteraan. Seperti yang kita ketahui bersama dari dua puluh persen penduduk Indonesia yang berada pada garis kemiskinan bisa jadi 70-80 persennya adalah kalangan santri. Ini artinya permasalahan kalangan santri terletak pada kualitas SDM. Maka sudah menjadi kewajiban kita bersama yang diberikan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi untuk menjawabnya.
Melihat dari permasalahan di atas, maka ketika kita sudah menjadi seorang mahasiswa kita harus memahami dunia santri tidak hanya sekadar kultur namun juga harus memahami secara rasional. Apabila tahapan ini sudah tercapai, maka tidak ada pilihan lain kecuali menggerakkan dunia santri. Tentu manifestasi dari kata “menggerakkan santri” pastilah bermacam-macam cara, bisa dengan ranah gerakan, sosial, atau bahkan dengan kultur itu sendiri. Jadi menjadi santri di kampus tidak harus melepas jubah kesantian, namun cukup dengan memoles jubah tersebut sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan di masing-masing kampus. Hal ini sejalan dengan kaidah Al Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah. Segala macam jalan itu tentulah punya ongkos dan imbalan masing-masing. Bagaimanapun juga membangun kalangan santri sama dengan membangun Indonesia. Salam santri!!
Oleh : Moh Agus Fuat, Sastra Jawa, 2013 (KMNU UI)
Menemukan kesalahan pada unggahan ini? Yuk sampaikan pada kami melalui email!