Pemimpin yang Tawadu

Admin KMNU Pusat 0 Pengunjung

Pemimpin yang Tawadu

Teringat kisah lama ketika Umar Bin Abdul Aziz terpilih menjadi  pemimpin Islam di Dinasti Bani Umayyah, Umar yang biasanya  selalu  tampak  tegas  bukannya  senang  atau  bangga  diri, Umar  malah menangis terisak-isak.  “Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Raji’uun.”  Begitulah  beliau  menyambut  tanggung  jawab  yang  besar  itu sambil juga berkata,  “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Menjadi seorang pemimpin memang tidak semudah mengucapkan atau mendefenisikannya.  Sangat besar tanggung jawab yang harus diemban selama proses dan setelahnya sampai di akhirat kelak.  Mungkin karena itu juga Umar Bin Abdul Aziz menangis,  beliau  sadar  betapa  lemah dirinya yang hanya sebagai seorang hamba yang tak punya kekuatan apa-apa dan  sangat  takut  dan  khawatir  tak  bisa  mempertanggungjawabkan  amanahnya  itu.

Kisah  tersebut  dalam  banyak  kesempetan  diulas  untuk  membandingkan  betapa  berbedanya  sikap  Umar Bin Abdul Aziz dengan pemimpin-pemimpin  sekarang  di berbagai bidang yang begitu terpilih menjadi pemimpin, malah memilih bersenang-senang dan berbangga diri. NU pun dalam beberapa bahtsul masail juga membahas masalah ini,  dan  yang  lebih  banyak dikomentari adalah mengenai pemimpin-pemimpin  di luar  NU.  Sedangkan  untuk  di dalam  tubuh NU sendiri,  pembahasan sepertinya  belum  sampai  di sana.  Bagaimana  mau membahas mengenai hal ini,  jika untuk mencari  pemimpin  di dalam  NU rasanya  begitu sulit?

“Orang NU itu sulit untuk bisa terpilih menjadi pemimpin.”  Begitu kira-kira  kata  salah  satu  rekan  yang sering diulang-ulang.  Mana mungkin dari 143 juta jiwa  (jumlah  nahdliyin  menurut  survey IndoBarometer tahun 2000)  tidak ada yang bisa  jadi  pemimpin,  ini  hal  yang  mustahil.  Pernyataan itu bukan karena  tak ada nahdliyin  yang  punya kompetensi  untuk  menjadi pemimpin,  tapi karena hal lain  yang menjadi  budaya  dan ajaran  dalam  NU  sendiri.  Orang NU tak bisa terpilih  menjadi pemimpin karena  banyak dari mereka  yang tak mau menawarkan  diri menjadi pemimpin.

Dalam konsep sistem demokrasi kita saat ini, untuk dipilih menjadi seorang pemimpin,  seseorang  itu agar terpilih,  harus terlebih dahulu menampakkan  dirinya  ke depan  umum,  dengan  cara menunjukkan dirinya ingin dipilih,  atau mendaftar sebagai calon pemimpin.  Proses  dan tahap inilah yang sulit bagi nahdliyin.  Sifat tawadu’ menjadi faktor  utama  yang  akhirnya  membuat nahdliyin memutuskan untuk  tidak mendaftarkan dirinya  menjadi  calon  pemimpin  atau untuk tidak menampakkan dirinya ke depan umum.  Sifat rendah diri,  merasa  pasti  ada yang lebih baik,  merasa tak sanggup menanggung beban,  merasa  tak  enak  dengan yang lain,  merasa tak pantas menjadi pemimpin.  Hal inilah yang  ‘menghambat’ nahdliyin untuk  menjadi seorang pemimpin.  Kata menghambat di sini,  tentu  tidak selalu  bersifat negatif, karena tawadu’ sejatinya  memang sifat yang diajarkan  dan  menjadi keharusan dalam Islam.  Efeknyalah yang menjadi negatif ketika tawadu’  tidak dipraktekkan secara proporsional yang mengakibatkan karenanya suatu kelompok  malah  dipimpin oleh orang yang dholim atau dari kelompok lain  yang memiliki tujuan  tertentu yang tidak membawa rahmat bagi sekalian alam. 

Sifat tawadu’ harus dipraktekkan secara proporsional khususnya dalam kepemimpinan ini.  Maka tak salah, jika pemimpin yang ada saat ini lebih banyak yang mementingkan diri dan  kelompoknya sendiri atau sebenarnya tidak memiliki jiwa dan kemampuan memimpin yang  cukup. Hal ini karena, orang yang memiliki ilmu, orang yang memiliki jiwa dan kemampuan  leadership  (kepemimpinan)  justru  terperangkap  dalam jebakan  “rendah  diri  yang  berlebihan”. 

Menurut  penulis, seandainya banyak orang NU – yang benar-benar  memegang  teguh  ajaran  ulama dan pesantren – berani  menjadi pemimpin,  maka suatu organisasi,  dari  yang  kecil  sampai besar,  pastinya  (insyaAllah)  akan lebih banyak manfaat yang bisa dirasakan,  baik  oleh organisasi itu sendiri ataupun oleh orang-orang disekitarnya.  Bukankah  hanya  NU  yang  dengan tegas tetap memegang prinsip dan terus mempraktekkan  “Islam  yang  rahmatan lil alamin.”

Maka,  marilah kita gunakan tawadu’ lebih untuk menjadi penguat kita,  karena  begitu  lemahnya  kita,  maka mari percayakan bahwa Allah akan membantu kita.  Bukan sebagai  penghambat,  tapi sebagai faktor penambah keyakinan,  bahwa dengan  mengikuti  ajaran  para  ulama,  bersama Allah, kita menjadi kuat.

Oleh : Muhammad Arifin

Menemukan kesalahan pada unggahan ini? Yuk sampaikan pada kami melalui email!

logo-kmnu-white