Oleh: Mukhanif YY[1]
Tidak dapat dipungkiri, jika mahasiswa memiliki positioning yang strategis dalam kaitannya dengan masa depan bangsa. Mahasiswa yang selama ini mendapat “sambutan” lebih dan berbobot seiring dengan perubahan paradigm masyarakat yang cenderung pragmatis dan tekstual, mau tidak mau melahirkan implikasi-implikasi yang relative tidak kecil. Mahasiswa dituntut untuk mampu menjawab tantangan setiap dinamika zaman yang senantiasa bermetamorf dalam kubangan realitasnya yang sifatnya kompleks.
Sebagai mahasiswa, terlebih selama ini berada dalam bayang-bayang nama besar Nahdlatul Ulama (NU), justru seringkali hanya menjadi “korban” ketidaksadaran (unconciousness) atas jati diri yang melekat. Alhasil, identitasnya sebagai mahasiswa, juga sebagai warga nahdliliyyin patut dipertanyakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali membuat kita “mbulet” dan terkadang malah pada akhirnya melahirkan apatisme.
Dalam beberapa kali ngobrol-ngobrol santai, ada salah satu pernyataan menarik dari senior, juga beberapa tokoh dan ulama NU, yang tidak bisa saya sebut di sini. Yakni, kenyataan bahwa tidak sedikit generasi muda NU yang selama ini lupa akan rumahnya sendiri. Alhasil fenomena ini berimplikasi pada cenderung apatisnya generasi muda untuk “ngurip-nguripi” NU. Hal ini menjadi sangat bahaya dan suatu saat akan menjadi bom waktu yang siap meledak dan meruntuhkan eksistensi NU. Berada dalam status quo vadis-kah mahasiswa NU? Ke mana mereka berjalan?
Berikutnya, mahasiswa yang selama ini secara cultural lekat dengan NU, namun belum sepenuhnya paham seluk-beluk tentang NU. Pada tataran ini, mahasiswa memang dinyatakan secara abash dalam wacana cultural, akan tetapi dalam wacana ideologis masih terjadi ambivalensi. Sebagai contoh, mahasiswa yang orang tuanya dari kalangan nahdliliyyin, juga cultur lingkungan masyarakat juga NU, tetapi masih minim dalam hal mendapat asupan tentang ke-NU-an. Pada akhrinya, ketika berbenturan dengan ideology lain, berada dalam bayang-bayang ambiguitas. Jika tidak memiliki bekal yang cukup, bisa jadi kebimbangan berada di persimpangan jalan ini mampu mengantarkan kita pada ruang dan sekat yang kontradiktif dengan ideology NU, baik dalam tataran wacana maupun praksis.
NU yang selama ini memegang teguh prinsip tawashuth (jalan tengah-moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan I’itdal (keadilan), masih sekadar wacana yang belum mampu diwujudkan dalam tataran praksis. Memang, ada beberapa aplikasi dari prinsip-prinsip tersebut, akan tetapi jika dikalkulasikan jumlahnnya tak seberapa. Ini tidak sekadar wacana, tetapi sudah kita lihat sendiri dari fenomena di kampus, contoh kecil saja di UGM. Tidak dapat dinafikkan, jika melihat realitas yang ada, sebagaimana diungkapkan Pak Ghafar Karim, ditaksir lebih dari 40% mahasiswa UGM adalah NU. Jika memang demikian, kemana mereka selama ini jika melihat gaung NU, baik dari sisi cultural maupun ideologis, masih belum cukup terdengar. Paling tidak, baru mulai terdengar akhir-akhir ini.
Fenomena yang kita lihat adalah aktifitas mahasiswa UGM secara umum yang masih didominasi oleh non-nahdliliyyin, bahkan tidak sedikit yang mengarah ke sisi ekstremis. Saya, secara pribadi, tidak bermaksud men-judgement, apalagi memperlihatkan sifat fanatis dan primordial. Akan tetapi, yang perlu kita sadari adalah hakikat UGM sebagai kampus pancasila, sebagai kampus kerakyatan, dan lebih jauh lagi adalah kenyataan bahwa kita ini hidup dalam kerangka NKRI, yang heterogen, baik secara politik, ekonomi, social, maupun budaya; termasuk didalamnya keragaman suku, agama, dan local wisdom. Oleh karena itu, kita perlu meletakkan gairah yang mampu menempatkan fenomena menjadi sedemikian rupa, secara proporsional agar sejalan dengan nilai-nilai yang dianut UGM maupun yang melekat pda jati diri NKRI.
Implikasinya, NU yang selama ini mengajarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, meneruskan perjuangan walisongo, sejalan dengan nilai-nilai UGM dan NKRI, harus mampu lebih banyak mengambil peran. Untuk mengambil peran tersebut, tidak perlu muluk-muluk. Cukup dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kesadaran akan khairunnas anfa’uhum linnas, akan membawa kita pada aktifitas-aktifitas yang positif, baik yang bersifat akademis maupun non-akademis.
Meskipun tidak membawa embel-embel NU dalam setiap aktifitasnya, jika kesadaran akan ke-NU-annya meningkat, saya yakin akan berimplikasi yang cukup signifikan dalam perkembangan NU di tataran kampus khususnya, dan perkembangan bangsa pada umumnya. Hal ini karena antara elemen satu dengan yang lainnya saling berkaitan, senantiasa berjalan beriringan. Ketika suatu tahapan telah terlampaui, yang lain pun secara langsung maupun tidak langsung akan turut merasakan dampaknya.
Selama ini NU mengenal tiga pendekatan terkait penerapan prinsip-prinsip yang dianutnya. Pertama, fiqh al ahkam, pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif islam (al umah al ijabah). Kedua, fiqh al da’wah, pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Terakhir, fiqh al siyasah, upaya NU untuk mewarnai politik.
Pendekatan kedua dan ketiga inilah yang perlu kita aplikasikan dalam ruang lingkup kampus. Fiqh al-da’wah harus kita gencarkan , tidak hanya bagi eksistensi NU di masa depan, tetapi juga eksistensi UGM khususnya, dan NKRI pada umumnya. Hal ini karena prinsip dan nilai-nilai NU sejalan dengan yang dianut UGM dan NKRI. Akan tetapi, kita sadari sendiri, masih minim aplikasi nilai dan prinsip NU di kalangan mahasiswa UGM. Jangankan di kalangan mahasiswa muslim UGM, di kalangan mahasiswa NU sendiri pun masih belum optimal. Alhasil, da’wah ahlussunah wal jama’ah di kampus masih jauh dari harapan.
Dalam kaitannya dengan fiqh al siyasah, seringkali kita jumpai adanya faktor-faktor politis yang mempengaruhi dalam setiap aktifitas mahsiswa, bahkan tidak hanya aktifitas pergerakan (politik kampus), tetapi juga aktifitas keagamaan. Bahkan, jika melihat secara universal, setiap gerak dan laku tindak kita tidak pernah lepas dari yang namanya siyasah. Hal ini tidak lain, karena apapun keputusan kita, tidak lepas dari yang namanya politik. Akan tetapi, kita mencoba mengerucutkan pada tataran kampus, di mana dalam aktifitas politik kampus, terutama yang bertendensi keagaman, cenderung ke arah Islam yang puritan dan radikal, tidak sedikit mengancam eksistensi UGM dan NKRI yang selama ini berideologi pancasila.
Sebagai mahasiswa muslim, tentunya kita sadar bahwa nilai-nilai dan prinsip dasar itulah yang menjadi patokan utama dalam menentukan tolok ukur setiap sikap dan perilaku. Apalah artinya dalam setiap sikap dan perilaku yang hanya dari segi sampulnya saja yang Nampak islamis, namun dari segi substansi sama sekali tidak mencerminkan nilai dan prinsip Islam. Dalam hal ini, NU memegang kaidah fiqh yang berbunyi, ma laa yudraku kulluhu, laa yutraku julluhu; apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggalkan prinsip (nilai) dasarnya.
Dengan demikian, sudah saatnya kita bangkit dan mengaplikasikan nilai-nilai dan prinsip NU, tidak hanya bagi eksistensi NU itu sendiri, tetapi juga eksistensi UGM dan NKRI yang selama ini menganut ideologi pancasila. Semua dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Dan yang lebih penting adalah upaya pembaharuan arah gerak dakwah aswaja di kampus menyesuiakan dengan kondisi yang ada pada civitas akademika kampus. Upaya yang sistemis dan terstruktur diperlukan. Pola gerakan kita jelas berbeda dengan yang sudah biasa kita temui dalam kultur santri/pesantren yang selama ini identik dengan NU, bahkan menjadi semacam branding yang tak terpisahkan.
Oleh karena itu, memperjuangkan dakwah aswaja di kampus, tidak lebih sebagai sebuah tantangan untuk keluar dari zona nyaman; kultur islam tradisionalis. So, kita berjuang dalam dua arah sekaligus, pembaharauan islam tradisionalis (santri/pesantren) untuk mengahadapi lingkungan Islam modernis. Bukankah kita mengenal almukhafadatu ‘ala qadimish-shaalihi wal akhdu bil jadidil aslakh?
Kita berada di dua pilihan, tetap berada dalam status quo dan berada dalam persimpangan jalan, atau mau “ngurip-nguripi” NU? Dan kita tahu sendiri, kampus adalah barometer masa depan bangsa, apa jadinya jika mahasiswa saat ini terjebak pada ideology yang bertentangan dengan NKRI, apakah di masa depan NKRI bakal punah dan NU sekadar tinggal catatan sejarah? Wallahu a’lam.
[1] Hanya Seorang gelandangan yang mencoba tetap menjalani hidup :D, Mahasiswa Sastra Indonesia UGM angkatan 2011, Eks Kadept Media dan Jaringan KMNU UGM 2013, Eks Senat Mahasiswa KM UGM 2013, Founder dan Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel UGM, dan Founder Santri Inspiration Center (SIC)
Menemukan kesalahan pada unggahan ini? Yuk sampaikan pada kami melalui email!